Senin, 01 Juli 2024

Menuju Kampung Pegat Batumbuk

Dr. Gunawan Wibisono 
Dosen Univeristas Muhammadiyah Berau

Perjalanan kali ini dimulai pukul 08.00 wite.
Berangkat melalui pelabuhan Sanggam Tanjung Redeb menuju Kampung Pegat Batumbuk dengan speedboat yang berkapasitas sekitar 15 an penumpang. Saat masih pagi, suasana nyaman. Tidak terlalu panas. Dengan mesin 40PK, speed boat meluncur membelah sungai Kelay dan menuju Muara Sungai Berau
Di sepanjang sungai kami melewati beberapa kampung. Pertama tentu Kelurahan Sambaliung, Tanjung Perangat, Sukan dan akhirnya sampai di Pegat Batumbuk. Di sepanjang sungai, terlihat deretan mangrove yang sangat hijau. Katanya di dekat kampung Tanjung Perangat banyak Bekantan yang berada di mangrove. Tapi saat itu, karena sudah diatas jam 8 an, kami tidak menemukannya.
Setelah 1.5 jam an melintasi Sungai Berau, akhirnya sampailah di Kampung Pegat Batumbuk. Dari kejauhan terlihat rumah warga yang berada di pinggir sungai. 
Kampung ini terdiri dari dua dusun, yaitu Pegat dan Batumbuk. Makanya dinamakan Kampung Pegat Batumbuk. Dusun Pegat terdapat 1 RT, sedangkan di dusun Batumbuk terdapat 2 RT.

Kali ini kami mengunjungi dusun Batumbuk. Di dusun ini, jalan yang ada adalah kayu ulin kira2 lebarnya 1.5 meteran sepanjang 1.5 km. Kenapa ulin, katanya ulin adalah kayu yang sangat kuat. Jadi di dusun ini, semua jalan merupakan jalanan kayu ulin. Tidak ada sepeda motor, kecuali beberapa sepeda dan motor listrik kecil. 

Ada beberapa toko sembako yang terdapat disini. Walaupun tidak banyak. Karena memang kampung ini adalah nelayan, jadi hampir semua warga konsumsi dengan produk laut. Ikan, kepiting, udang dan cumi-cumi. 
Saya sempat ngobrol santai dengan seorang perawat yang sudah bertugas di kampung ini selama 20 tahunan. 
Katanya penyakit umum yang selama ini diidap oleh masyarakat adalah ISPA dan penyakit generatif (kolesterol). Kenapa, katanya konsumsi seafood yang berlebihan. Tetapi saya coba bantah. Kan konsumsi seafood ini sudah berlangsung lama. Tetapi mengapa baru sekarang banyak terkena. Katanya, asupan antara kalori yang masuk dan keluar tidak seimbang. Untuk menanggulangi masalah ini, beliau sebagai tenaga kesehatan sudah melakukan sosialisasi dan mengadakan senam untuk lansia.
Ada banyak jenis ikan yang biasa diperoleh oleh nelayan, misalnya kerapu, ikan putih, udang dan lainnya. Ikan-ikan itu dijual ke kampung sebelah, yaitu Kampung Kasai.
Kampung yang berpenduduk sekitar 400 an jiwa ini didominasi oleh suku Bugis, tepatnya dari daerah Bone Sulawesi Selatan. Walau ada juga penduduk yang berasal dari suku lain, seperti Jawa. Luasan kampung ini sekitar 24 an ribu hektare dan rata didominasi oleh mangrove, berupa nipa dan jenis lainnya. Saya belum mengetahui secara pasti jenis-jenis mangrove yang ada. Karena kondisi inilah yang menyebabkan banyak masyarakat membuka tambak udang. Jadi secara ekonomi, kesejahteraan warga cukup. Jadi, selain nelayan tangkap warga juga menjadi nelayan budidaya. 
Saya kesana dalam rangka penyusunan rencana tata ruang kampung yang biasanya disebut rencana tata guna lahan (RTGL). Kegiatan diawali oleh pemaparan eksisting kampung. Iya, kampung ini merupakan kumpulan beberapa buah pulau.
Eksisting yang ada berupa kawasan hutan, pemukiman, tambak, lokasi prasarana dan lainnya. Kemudian fasilitator mengajak warga secara partisipatif untuk ikut merencanakan peruntukan kawasan. Di-overlapping-kan dengan eksisting yang ada. Masyarakat yang hadir cukup banyak dan mewakili unsur masyarakat. Perwakilan pemerintah kampung, BPK, LPM, tokoh pemuda, tokoh agama, PKL, nelayan tangkap, nelayan budidaya, dan lainnya. Setiap Perwakilan diminta untuk memberikan usulan harapan pembangunan ke depan. Kemudian ditempatkan secara spasial. 
Kampung Pegat Batumbuk berstatus Desa Berkembang sesuai dengan Indeks Desa Membangun (IDM). Harapannya ke depan bisa menjadi Desa Maju. Berdasarkan diskusi santai dengan Kepala Desa, Bapak Alimudin, harapan itu memang ada. Tetapi ada beberapa hal yang harus disiapkan agar capaian itu bisa terealisasi. Kata beliau, pertama adalah masalah air bersih yang belum tersedia secara optimal. Mereka masih mengandalkan air hujan. Bila musim kemarau, warga membeli dari luar kampung yahg cukup mahal. Katanya tahun ini ada anggaran untuk penyiapan air bersih ini. Cuma belum tahu bagaimana realisasinya. Kedua adalah masalah penanganan sampah. Belum ada TPs atau TPA. Saat diskusi tata ruang, hal itu muncul. Bagaimana cara penanganan sampah. Yang ketiga kata beliau adalah listrik. Memang sudah ada listrik, melalui PLTS komunal. Masyarakat mendapat jatah 700 KWh. Cukup sebenarnya, tetapi daya itu hanya untuk lampu dan kebutuhan dasar. Padahal mereka memerlukan utk kulkas dll. Terakhir kata beliau yang perlu adalah penyiapan toilet komunal. Ini penting karena mereka tinggal diatas air yang relatif berada diatas air bila pasang. Sebenarnya sudah dibuat toilet komunal, tetapi tidak bisa dioperasionalkan. 

Iya. Satu lagi yang perlu jadi perhatian. Selama ini sarana pendidikan hanya sampai SD. Setelah itu, anak2 melanjutkan sekolah di Tanjung Redeb atau Desa lain. Ini menyulitkan. Memang diakui, lulusan SD sedikit. Mungkin perlu ada kebijakan untuk sekolah SMP Filial.

Pa Alimudin berharap, bila sarana itu tersedia, mudahan status kampungnya bisa naik menjadi Maju.
Yang cukup membanggakan, kampung ini memiliki Hutan Desa seluas 11 ribuan hektare lebih. Skema perhutanan sosial ini diperoleh izin dari KLHK tahun 2018. Sudah banyak bimbingan yang diberikan oleh KPHP Berau Utara agar anggota LPHD bisa sejahtera. Hal ini disampaikan oleh Ketua LPHD, Bapak Kisman.
Saat kami berkunjung, KPHP sedang memberikan bantuan alat mesin pemisah tulang dan beberapa alat lainnya. 
Bapak Najib sebagai Kepala KPHP menyampaikan bahwa bantuan ini untuk memperkuat LPHD dalam bidang ekonomi. Diharapkan usaha perhutanan sosial yang ada bisa lebih maju lagi ke depan. 

Oh.. iya. Saat penyusunan RTGL kampung, Pak Najib memberikan arahan terkait rencana kelola ini, khususnya peruntukan untuk kawasan KBK. Diharapkan disinkronkan dengan perencanaan yang ada di LPHD. Hal ini penting karena semua perencanaan yang ada di desa harus disesuaikan dengan perencanaan LPHD. LPHD juga memiliki rencana kerja perhutanan sosial (RKPS) yang disusun di bawah arahan dari KPH sebagai panduan pengelolaan hutan desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar